ISTANA TAMALATE

Sejarah Istana Tamalate
Sejak awal berdirinya ± abad XIII (tahun 1300 Masehi), Kerajaan Gowa sudah memiliki dan mengembangkan budaya yang tak ternilai serta mempunyai latar belakang sejarah tersendiri. Secara kronologis Kerajaan Gowa di Celebes mempunyai level periode yang sama dengan beberapa kerajaan tua di Pulau Jawa dan Sumatera, seperti Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya serta dukungan kesamaan kepercayaan yaitu Hindu-Budda yang datang dari India melalui Malaya, Sumatera dan Jawa.

Kerajaan Gowa diprakarsai oleh para arsitek dari Kepala Pemerintah Sembilan Kerajaan Kecil bersama seorang Paccalla yang dapat mempertimbangkan segala hasil musyawarah dari ke sembilan Kepala Pemerintahan. Dalam Lontara’ Patturioloanga ri Gowa serta diperkuat oleh salah satu tulisan berbahasa Belanda yang tidak diketahui nama penulisnya berjudul Ëenige Historische Stukken Uit den Ra’pang”disebutkan bahwa kesembilan Kepala Pemerintahan tersebut adalah: ”Kasuwiang ri Tombolo’, Lakiyung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Sero’ danKalling” inilah yang disebut Bate Salapanga ri Gowa”.

Bate Salapanga dan Paccallaya sangatlah sedih lantaran diantara mereka tidak ada yang bersedia menjadi Kepala Pemerintahan (Raja). Namun kemasygulan hati mereka telah ditolong oleh Dewata dengan kehadiran “Tumanurunga”Putri Ratu Karaeng Bainea yang datang dengan tiba-tiba dan penuh teka-teki. Sejarah tidak pernah bercerita banyak tentang asal-usulnya, hanya dikatakan bahwa Tumanurunga turun dari kayangan (langit)bersama Tokenna (kalung emas), Panne Jawana(piring Jawanya) serta rumahnya yang terdiri dari lima petak (bilik) didekat Taipa Jombe-Jombea. Setelah berunding maka sepakatlah Bate salapanga dan Paccallaya untuk mengangkat pemimpin yang dianggap Tumanurunga itu sebagai Raja (Somba) pertama di Gowa.

Setelah Gowa resmi menjadi sebuah kerajaan dan telah mempunyai Raja atau Somba, maka Paccallaya bersama Bate Salapanga (Kasuwiang Salapanga) membangun sebuah Istana yang terdiri dari sembilan petak di taka’ Bassia untuk Tumanurunga Putri Ratu Karaeng Bainea Somba ri Gowa. Istana itu diberi nama “Tamalate”(tidak layu) karena daun-daun dari kayu katangka yang dijadikan tiang istana belum layu sewaktu istana tersebut selesai dibangun dan ditempati.

Istana Tamalate merupakan singgasana Tumanurunga yang dipersunting oleh Karaeng Bayo atas dukungan Paccallaya dan Bate Salapanga sebagai alternatif daripada kelangsungan turunan raja-raja dan para bangsawan serta masyarakat Gowa yang sampai saat ini tersurat dalam naskah LontaraPatturioloanga ri Gowa dan naskah yang ditulis dalam bahasa Belanda dan Inggris yang telah berhasil ditranskripsi.

Lokasi atau tempat Istana Tamalate yang kini tinggal kenangan sejarah berada di sekitar makam raja-raja Gowa seperti Raja Gowa XV I Mannuntungi Daeng Mattola yang bergelar Sultan Malikussaid dan Putra Mahkotanya I Mallombasi Daeng Mattawang yang kita kenal bergelar Sultan Hasanuddin Raja Gowa XVI dan lain-lainnya. Tempat itu pula diberi nama “Bukit Tamalate”. Setelah Sultan Hasanuddin memperoleh penghargaan sebagai Pahlawan Nasional, maka kompleks makam raja-raja tersebut dinyatakan sebagai Kompleks Makam Pahlawan Nasional Sultan Hasanuddin.

Untuk pengembangan dan pelestarian sejarah serta budaya para leluhur kita dimasa silam, maka Pemda Tingkat II Gowa yang diprakarsai oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gowa Bapak H.Syahrul Yasin Limpo, SH telah membangun duplikat dan mengabadikan nama Istana Tamalate sebagai bukti dari kepedulian terhadap nilai-nilai luhur budaya kepada generasi mendatang agar tidak terlupakan sekaligus sebagia motivasi jiwa dan semangat kharisma budaya bangsa yang tidak ternilai di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini.

Semoga dengan arsitektur budaya Kerajaan Gowa pada masa lalu yang terpateri dalam kandungan pendirian Istana Tamalate yang kini berdiri dengan megahnya berdampingan dengan museum Balla Lompoa di kota Sungguminasa yang merupakan pusat pelaksanaan roda pemerintahan Gowa Bersejarah sebagai daerah otonomi, menjadikan Gowa benar-benar nampak sebagai daerah bekas kerajaan yang besar di Wilayah Timur Indonesia.


LATAR BELAKANG PEMBANGUNAN ISTANA TAMALATE

Rumah adat Istana Tamalate yang diprakarsai oleh Bupati KDH Tingkat II Gowa Bapak H. Syahrul Yasin Limpo, SH dan mendapat dukungan positif serta dorongan dari segenap lapisan masyarakat yang diwakili oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Pemangku Adat serta motivasi dari Bapak Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Bapak H.Z.B. Palaguna, tidak dimaksudkan untuk merubah fisik atau mengurangi rasa kebanggaan masyarakat Gowa terhadap Istana Balla Lompoa sebagai salah satu peninggalan sejarah tetapi justru untuk lebih meningkatkan dan memaksimalkan apa yang telah ada.

Istana Balla Lompoa akan dikembangkan secara monumental dalam suatu kawasan budaya dengan menghadirkan bangunan/rumah adat Istana Tamalate beserta bangunan-bangunan penunjang lainnya yang bersumber dari dokumen kuno Kerajaan Gowa (Lontarak asli) dan merupakan kristalisasi wujud bangunan yang sama pada zaman keemasan Kerajaan Gowa di abad XIV.


Secara filosofi pembangunan, keberadaan rumah/bangunan adat Istana Tamalate merupakan rangkaian upaya mengoptimalkan pembangunan budaya bangsa yang te4rmasuk peninggalan sejarah trade mark  Kabupaten Gowa maupun sebagai daya tarik wisatawan di Sulawesi Selatan. Sedangkan dari sudut filosofi budaya diharapkan dapat berfungsi sebagai motivasi bahwa Kerajaan Gowa dimasa lalu tidak sekedar untuk dibaca dan dikenang, tetapi mampu menyatukan ikatan emosional dan menjadi tonggak kebanggaan bukan saja bagi masyarakat Gowa tetapi masyarakat Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan. Selanjutnya akan tumbuh semangat kebersamaan dalam membangun Daerah Tingkat II Gowa.

Mengaplikasikan konsep pembangunan dari simbol Rewako Gowa yang diaktualisasikan tiada hari tanpa perubahan dan tiada hari tanpa penyempurnaan, disertai komitmen kuat mewujudkan upaya untuk melakukan apa yang orang lain belum kerjakan dan mengerjakan lebih baik apa yang orang lain telah lakukan.
Latar Belakang, maksud dan Tujuan serta Sumber Inspirasi dari dasar pemikiran bentuk dan desain dari pembangunan rumah adat Istana tamalate

Dalam konteks pembangunan kawasan situs Balla Lompoa yang merupakan cagar budaya, memelihara dan melestarikan budaya tidak dapat diartikan dengan kaku sebagai suatu yang menolak perubahan dan pembangunan baru dikawasan tersebut atau sebaliknya, mengartikan pembangunan dengan cara merombak dan menghancurkan warisan sejarah yang kemudian mengganti dengan bangunan baru yang semata-mata hanya didasari pemikiran ekonomi berorientasi bisnis, namun pembangunan yang kontekstual sangat mempertimbangkan aspek sejarah. Selain itu perlu pula dicermati bahwa pembangunan bagian kota lama (down town) yang umumnya didominasi oleh bangunan bersejarah sering menimbulkan kepentingan antara keinginan untuk memelihara dan melestarikan warisan kota (urban heritage) dengan modernisasi bangunan. Sebetulnya benturan tersebut dapat dihindari apabila lingkungan binaan dalam kawasan bersejarah dapat dioptimalkan sesuai dengan kebutuhan dan fungsi baru.

Dengan bertitik tolak pada pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka pembangunan Istana Tamalate dimaksudkan untuk mewujudkan kembali situs Istana Tamalate yang pernah dibuat pada masa kejayaan Kerajaan Gowa sekitar abad XIV dengan  sumber inspirasi dan acuan dasar. Perwujudan fisik bangunan rumah adat Istana Tamalate ini diadopsi dari dokumen-dokumen kuno (lontarak asli) tentang bangunan istana yang pernah dibangun pada masa keemasan Gowa antara lain:

·         Istana Tamalate pada awal Kerajaan Gowa
·         Istana Towaya
·         Istana Kembar Somba Opu

Wujud bangunan yang dibangun ini tidak lagi sepenuhnya difungsikan seperti layaknya pada masa kejayaan Kerajaan Gowa, namun desain dan ruangannya lebih fleksibel serta diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang fungsional, bernilai ekonomi tetapi secara visual tetap memberi nuansa sejarah.

Dengan latar belakang dan perwujudan bangunan tersebut, maka kehadiran Istana Tamalate sesuai dengan fungsinya digolongkan sebagai Bangunan Adat Istana Tamalate dan bukan rumah adat seperti Istana Balla Lompoa yang merupakan tempat kediaman raja.

KONSEP DASAR PEMBANGUNAN ISTANA TAMALATE 
  1. Konsep Makro
Bangunan adat Istana Tamalate dibangun dalam kawasan bersejarah berdampingan dengan Istana Balla Lompoa, dengan menggunakan sebagian Lapangan Bungaya Lapangan di depan istana dimaksudkan untuk ruang terbuka (space introduction) sebagai upaya memberi jarak pandang kepada bangunan yang bernilai monumental.
Ruang terbuka yang merupakan alun-alun difungsikan sebagai tempat upacara adat, pesta rakyat dan wadah pedagang kaki lima. Bagian depan dan belakang ditanami pohon lontar sebanyak sembilan pohon sebagai ciri khas yang menandakan simbol Bate Salapang.
Dalam kawasan tersebut akan dibangun fasilitas yang terdiri dari:
·         Gazebo souvenir dari masing-masing kecamatan (sembilan buah)
·         Panggung terbuka untuk pertunjukan tradisional pesta adat
·         Pujasera
·         Pelataran parkir
·         Pintu gerbang utama
·         Kolam air mancur
B.    Konsep Mikro

Ruang Istana tamalate terdiri dari :

·         Ruang utama (kale balla’) yang terbagi menjadi :
·         Ruang tamu/ruang pertemuan diasumsikan sama dengan bilik duduk
·         Ruang panggung/strage diasumsikan sebagai ruang singgasana raja yang nantinya dimanfaatkan sebagai ruang pelaminan
·         Ruang administrasi/pengelola yang diasumsikan sebagai ruang makan raja-raja dan ruang makan tamu-tamu kerajaan dan juga dijadikan ruang pengawal raja
·         Ruang dapur/pantry diasumsikan sebagai dapur
·         WC dan kamar mandi
·         Ruang persiapan dan ruang penjaga
Luas lantai ±1.630 mdengan kapasitas 2.000 orang 


1.     Struktur bangunan menggunakan sistem rumah panggung
2.     Ramuan konstruksi umumnya terbuat dari bahan kayu
3.     Ukuran-ukuran menggunakan depa(rappa) dan hasta (singkulu’)
4.     Jumlah tiang disesuaikan dengan jumlah tiang Istana tamalate (istana tertua) yaitu 78 tiang
5.     Panjang bangunan adalah 41 depa (82 meter) disesuaikan dengan panjang bangunan Istana Tamalate (istana tertua)
6.     Lebar bangunan lebih dari 10 depa (±25 meter) yang dikembangkan sesuai proporsi arsitektur
7.     Paranginan atap (timba’sila) terdiri dari lima susun disesuaikan dengan Istana Tamalate dan Istana Towaya
8.     Atap terbuat dari sirap/bambu (sappi), warna atap biru tua (mengikuti warna asli Istana Tamalate)
9.     Tinggi atap dari tanah 9 depa (18 meter) dikembangkan dari Istana Tamalate.
10.  Tinggi atap bagian depan 6 depa tambah setengah hasta (12,5 meter) dikembangkan dari Istana Tamalate
11.  Ruang penerima tamu(paladang) dibuat lebih rendah 50 cm dari ruang utama
12.  Ornamen/relief dikembangkan dari motif relief Istana Kembar Benteng Somba Opu dengan prinsip panel
13.  Tangga diberi baruga dikembangkan dari Istana Kembar benteng Somba Opu dengan lebar 2,5 depa (5 meter)
14.   Tangga depan tusuk tegak lurus badan rumah dikembangkan dari ketiga istana yang pernah ada di Kerajaan Gowa
15.  Tangga service diletakkan menyamping sejajar dengan lebar rumah
16.  Warna umum bangunan dikembangkan dari ketiga istana yang pernah ada di Kerajaan Gowa
17.  Mahkota atap dikembangkan dari ketiga istana yang pernah ada di Kerajaan Gowa dengan motif kepala kerbau

LUAS DAN CIRI-CIRI BANGUNAN ISTANA TAMALATE

A.      Luas Bangunan
1.  Luas lahan bangunan, tempat parkir dan taman ±8.400 m2
2.  Luas fisik bangunan 25 x 92 meter yang terdiri dari :
a.       Luas bangunan utama 25 x 60 meter = 1.500 m2
b.      Luas bangunan paladang 10 x 10 meter = 100 m2
c.       Luas serambi samping 2 x 1,2 x 30 meter = 72 m2
d.      Luas serambi belakang 3 x 10 meter = 30 m2
e.      Luas bangunan tangga utama 4 x 9 meter = 36 m2
B.      Ciri-ciri Bangunan Adat Istana Tamalate
1.  Bangunan induk memakai timba’ sila (peranginan atap) lanta’ lima (lima susun) sebagai simbol strata (golongan) tertinggi dalam lingkungan suku Makassar dan menandakan bahwa rumah adat tersebut adalah istana Raja Gowa
2.  Bangunan paladang memakai timba’ sila lanta’ tallu yang selain bermakna sebagai simbol rumah golongan karaeng, juga berarti bahwa paladang adalah tempat menerima tamu yang terdiri dari berbagai golongan bahkan dari bangsa asing sekalipun
3.  Ujung-ujung balok utama dihiasi ukiran khas Makassar/Bugis
4.  Jumlah tiang yang berjejer ke samping sebanyak 6 buah
5.  Jumlah tiang yang berjejer ke belakang sebanyak 13 buah, tidak termasuk tiang paladang dan tangga sebanyak 4 buah
6.  Pada sisi depan tangga terdapat sebuah guci besar sebagai tempat air untuk membersihkan kaki
Tiang-tiang Bangunan
Jumlah tiang bangunan seluruhnya 92 tiang yang terdiri dari :
·         Tiang ukuran 40 cm x 40 cm x 11 m sebanyak 30 tiang
·         Tiang ukuran 40 cm x 40 cm x 9,30 m sebanyak 28 tiang
·         Tiang ukuran 40 cm x 40 cm x 9 m sebanyak 6 tiang
·         Tiang ukuran 40 cm x 40 cm x 5,50 m sebanyak 21 tiang
·         Tiang ukuran 40 cm x 40 cm x 4 m sebanyak 2 tiang
·         Tiang ukuran 20 cm x 20 cm x 9 m sebanyak 3 tiang
·         Tiang ukuran 40 cm x 40 cm x 2,5 m sebanyak 2 tiang
Tinggi Bangunan
·         Tinggi bangunan utama dari permukaan tanah sampai ke puncak atap 22,15 meter
·         Tinggi lantai atas dari lantai dasar 5,5 meter
·         Tinggi plafon bangunan utama dari lantai 10,30 meter
Material Bangunan
·    Material/bahan utama bangunan adalah sekitar 90% dari kayu bayam sebanyak 500 m3  yang berasal dari Irian Jaya
·    Material atap dari sirap kayu ilin sebanyak 3.000 ikat/ m3  berasal dari Kalimantan
·    Umpak (pappadongkokang benteng) dibuat dari beton pra cetak sebanyak 92 batang dengan campuran beton @ 0,7 m3  = 64,4 m3  
·    lantai dasar (siring) ditutup dengan beton rabat seluas 2.083 m2  
·    Balok lantai ukuran 10 cm x 30 cm
·    Plafon ruang utama dari gipsumboard 9 mm dan ruang-ruang lainnya dari tripleks 9 mm
Sekilas tentang anjong (mahkota atap)
     Bentuk anjong (mahkota atap) yang pernah digunakan pada istana raja disaat pemerintahan Kerajaan Gowa adalah:
1.  Bulan sabit kombinasi bunga teratai. Bentuk anjong ini hanya digunakan pada istana Tumanurunga Putri Ratu Karaeng Bainea. Bulan sabit dan bunga teratai mengandung makna bahwa raja yang dilambangkan sebagai bulan merupakan penguasa yang berada di atas dan akan menumpahkan cahaya kehidupan hingga kejenjang yang berada dibagian dibagian terbawah (rakyat yang dilambangkan sebagai bunga teratai). Simbol bulan juga mengandung arti cita-cita yang tinggi laksana bulan di atas langit. Selain itu bulan sabit dan bunga teratai merupakan simbol kecantikan yang menjadi kebanggaan seorang wanita. Untuk memuliakan Tumanurunga yang merupakan raja/somba pertama di Gowa maka setelah pemerintahan beliau, tidak dibolehkan lagi seorang perempuan untuk menjadi raja dengan demikian tidak ada lagi istana raja yang boleh menggunakan anjong dengan lambang bulan sabit dan bunga teratai.
2.   Naga/Ular. Bentuk anjong ini digunakan pada istana raja/somba berikutnya sebagai lambang kekuatan dengan makna bahwa raja sebagai penguasa tertinggi yang memiliki kekuatan akan selalu melindungi yang lemah. Naga/ular juga sebagai simbol kemuliaan/derajat tinggi
3.  Ayam. Beberapa istana raja selanjutnya menggunakan anjong dengan model ayam sebagai simbol kejantanan/keberanian yang harus diteladani. Juga sebagai simbol rezeki kehidupan dan kemakmuran yang senantiasa baik dan tentram 
4. Kerbau. Hingga menjelang pemerintahan Raja Gowa terakhir, istana raja menggunakan anjong dengan model kepala kerbau seperti yang dapat kita lihat sekarang ini pada Istana Balla Lompoa. Model ini merupakan simbol kekayaan/status sosial, kekuatan/persatuan dan kemakmuran serta melambangkan bahwa Gowa merupakan daerah agraris.

ISTANA TAMALATE



SUMBER: 

Syahrul Yasin Limpo, SH., Drs. Adi Suryadi Culla dan Zaenuddin Tika, SH.,Profil Sejarah Budaya dan Pariwisata Gowa, Sungguminasa, Mei 1995.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JEMBATAN KEMBAR SUNGGUMINASA GOWA

BADIK DARI SULAWESI SELATAN