Sejarah Kerajaan Gowa
KERAJAAN GOWA
Perang antara
Kerajaan Gowa dan Belanda yang berakhir pada tahun 1906,
ditandai dengan gugurnya Raja Gowa XXXIV I Makkulau Daeng Serang
Karaeng Lembang Parang Sultan Husain Temenanga Ribundu’na pada bulan
Desember 1906 di Sidenreng. Jongaya ibukota Kerajaan Gowa diduduki oleh
Belanda. I MappanyukkiDatu Suppa dan I Mangimangi
Karaeng Bontonompo diasingkan oleh Pemerintah Belanda masing-masing ke
Selayar dan Bima. Bangsawan-bangsawan tinggi lainnya tetap tinggal di Jongaya
dan Gunung Sari dalam keadaan menderita lahir dan batin sebagai akibat perang.
Mereka banyak kehilangan harta benda yang disita dan dirampas oleh tentara
Belanda.
Benda-benda kebesaran (kalompoang) di Gowa seperti kalewang,
sudanga, rantai emas tani sa’mang dan lain-lain disita dan sebagian
dikirim ke Museum Betawi, Museum Amsterdam dan Leiden. Bate-bate (panji)
dari anggota Dewan Bate Salapanga juga disita oleh Pemerintah Belanda.
Karena Pemerintah Belanda meyakini bahwa bekas Kerajaan
Gowa sejak dahulu merupakan suatu kekuatan politik yang amat penting di Celebes
Selatan, maka Pemerintah Belanda berusaha mempelajari dengan teliti dan seksama
hubungan dan pengaruh yang hidup dikalangan kaum bangsawan di Gowa. Setelah
memperoleh gambaran yang jelas tentang keadaan didalam golongan kaum bangsawan,
Pemerintah Belanda mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh untuk mencari
seorang calon yang tepat untuk diangkat menjadi calon Ketua Federasi Gowa yang
baru dibentuk (1 Juli 1926). Untuk jabatan tersebut diajukan tiga orang calon
masing-masing :
·
I Tjoneng Daeng Mattajang karaeng Manjalling
·
Andi Baso Daeng rani karaeng Bontolangkasa yang pada
waktu itu masih duduk di bangku sekolah OSVIA Makassar. Beliau adalah adik dari
calon pertama
·
Andi Pangerang Daeng Rani putra dari Andi
Mappanyukki Datu Suppa. Baliau adalah tamatan OSVIA Makassar dan pada
waktu itu menjadi karaeng/kepalaadatgemeenschap Bontonompo.
Setelah diadakan perundingan oleh
Pemerintah Belanda dengan beberapa tokoh terkemuka di Gowa diantaranya Andi
Mappanyukki, I Bunta Karaeng Mandalle, I Mangimangi Karaeng Bontonompo dan juga
Dewan Bate Salapanga, maka disepakatilah bahwa I Tjoneng Daeng Mattajang
Karaeng Manjalling yang diangkat menjadi Ketua Federasi Gowa dan dilantik pada
bulan September 1926 di Jongaya.
Dengan diangkatnya I Tjoneng Daeng Mattajang Karaeng Manjalling sebagai Ketua Federasi Gowa, Pemerintah Belanda merasa dirinya telah berhasil memperoleh hubungan yang lebih erat dengan kaum bangsawan tinggo di Gowa.
Sejak terbentuknya Federasi Gowa banyak
terjadi perubahan di bidang susunan pemerintahan. Menurut keadaan pada tahun
1935, susunan pemerintahan di Gowa sebagai berikut :
1. Onderafdeling
Gowa dikepalai oleh seorang kontrolir dengan
dibantu oleh seorangaspirasi kontrolir dan
tiga orang pamong praja bumi putra (hulp bestuurs assisten dan aib).
2. Federasi Gowa
diketuai oleh I Tjoneng Daeng Mattajang Karaeng Manjalling
3. Tiga belas adatgemeenschap masing-masing
:
a. Mangasa
dikepalai oleh seorang gallarrang
b. Tombolo
dikepalai oleh seorang gallarrang
c. Borongloe
dikepalai oleh seorang gallarrang
d. Karuwisi
dikepalai oleh seorang karaeng (I Tjoneng Daeng Mattajang Karaeng Manjalling)
e. Pattallassang
dikepalai oleh seorang karaeng
f. Borisallo
dikepalai oleh seorang karaeng
g. Parigi
dikepalai oleh seorang karaeng
h. Manuju
dikepalai oleh seorang karaeng
i. Bontonompo
dikepalai oleh seorang karaeng
j. Limbung
dikepalai oleh seorang hulp bestuurs assisten
k. Malakaji
dikepalai oleh seorang hulp bestuurs assisten
l. Pao dikepalai
oleh seorang arung
m. Kindang
dikepalai oleh seorang karaeng
Dalam kurun waktu 30 tahun hubungan
antara Pemerintah Belanda dengan bangsawan tinggi Gowa terlihat baik dan
memberi keyakinan kepada Pemerintah Belanda untuk merehabiliter kembali
Kerajaan Gowa termasuk Bone yang ditaklukkan pada tahun 1905/1906
Pada bulan April 1931, Andi
Mappanyukki diangkat menjadi Raja di Bone dengan gelar Sultan
Ibrahim Ibnu Sultan Husain dengan menandatangani Korte
Verklaring (Perjanjian Pendek). Lima tahun kemudian yaitu pada tahun
1936 barulah Gowa direhabiliter dan diangkatI Mangimangi Daeng Matutu
Karaeng Bontonompo menjadi Raja Gowa dengan gelar Sultan Muhammad
Tahir Muhibbuddin (Raja Gowa XXXV). Beliau menandatangani Perjanjian Pendek
pada tanggal 30 November 1936. Untuk mendampingi Raja Gowa yang baru, maka oleh
Residen Celebes Selatan diangkat dua pejabat tinggi yaitu :
·
I Pabisei Daeng Paguling Karaeng Katapang sebagai Tumailalang
Towa.
·
I Tjoneng Daeng Mattajang Karaeng Manjalling sebagai Tumailalang
Lolo (sebelumnya menjabat sebagai Ketua Federasi dan Karaeng
Karuwisi).
Dengan direhabiliternya kembali
Kerajaan Gowa dan diangkatnya I Mangimangi Daeng Matutu sebagai Raja Gowa XXXV
pada tahun 1936, maka dibangun pulalah kembali Istana Balla Lompoa di
Sungguminasa sebagai tempat kediaman raja sekaligus dijadikan sebagai pusat
pemerintahan Kerajaan Gowa.
Pembangunan istana dan juga pusat
kegiatan pemerintahan dilakukan mengingat bahwa setelah Perjanjian Bungaya
dengan beberapa kali perubahan, pada salah satu ayat dikatakan bahwa :
·
Gerbang-gerbang dan tembok-tembok pertahanan Raja Gowa
harus dirusakkan dan raja Gowa tidak boleh lagi mendirikan bangunan-bangunan
yang demikian dengan tidak keluasan kompeni,
·
Raja Gowa tidak boleh mendirikan perkampungan, rumah dan
sebagainya sampai jauhnya satu hari perjalanan dari pinggir laut.
·
Raja Gowa tidak boleh lagi mendirikan benteng-benteng
atau kubu-kubu pertahanan.
Yang dipertahankan oleh Belanda hanya
Benteng Ujung Pandang yang kemudian diganti menjadi Fort Rotterdam sebuah
nama tempat kelahiran Spelman.
Referensi:
Abdurrazak Daeng
Patunru, Sejarah Gowa,
Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, Makassar 1969.
Very interesting to read it. facebook: Donald Tick
BalasHapusthanks
BalasHapusYou 've been to Gowa?
BalasHapus