ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT
PENGERTIAN FILSAFAT DAN ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT
Sebagai bagian dari bangunan besar filsafat,
filsafat ilmu hilang dan tumbuh
berganti dari mashab yang satu ke mashab yang lainnya. Ini karena pemikiran filsafat ilmu berasal
dari pikiran manusia. “Filsafat adalah
pengetahuan atas realitas dalam kemungkingn-kemungkinan akal manusia, karena filsafat berakhir pada
teori ilmu pengetahuan untuk memperoleh
kebenaran dan bertindak di atas rel kebenaran yang sudah ditemukan”, demikian kata Abu Y’aqub
al-kindi (dalam Hossein Nasr, 1993).
1.
Pengertian Filsafat
Filsafat adalah studi tentang seluruh
fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam
konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen
dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis,
mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk
solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses
dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika
bahasa.
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama
dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi
sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas
filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan
menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh
disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.
2.
Aliran aliran Filsafat
a.
Rasionalisme
Rasionalisme adalah mashab filsafat
ilmu yang berpandangan bahwa
rasio adalah sumber dari segala pengetahuan.
Dengan demikian, kriteria kebenaran berbasis pada intelektualitas.
Strategi pengembangan ilmu model rasionalisme, dengan demikian, adalah
mengeksplorasi gagasan dengan kemampuan intelektual manusia.
Sejak abad pencerahan, rasionalisme
diasosiasikan dengan pengenalan metode matematika (Rasionalisme continental).
Tokoh-tokoh rasionalisme diantaranya adalah Descartes, Leibniz dan Spinoza.
Benih rasionalisme sebenarnya sudah
ditanam sejak jaman Yunani kuno. Salah satu tokohnya, Socrates, mengajukan
sebuah proposisi yang terkenal bahwa sebelum manusia memahami dunia ia harus
memahami dirinya sendiri. Kunci untuk memahami dirinya itu adalah kekuatan
rasio. Para pemikir rasionalisme berpandangan bahwa tugas dari para filosof
diantaranya adalah membuang pikiran irasional dengan rasional. Pandangan ini
misalnya disokong oleh Descartes yang menyatakan bahwa pengetahuan sejati hanya
didapat dengan menggunakan rasio. Tokoh lain, Baruch Spinoza secara lebih
berani bahkan mengatakan : “God exists only philosophically” (Calhoun, 2002).
Sumbangan rasionalisme tampak nyata
dalam membangun ilmu pengetahuan modern yang didasarkan pada kekuatan pikiran
atau rasio manusia. Hasil-hasil teknologi era industri dan era informasi tidak
dapat dilepaskan dari andil rasionalisme untuk mendorong manusia menggunakan
akal pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan manusia.
b. Empirisme
Empirisme adalah sebuah orientasi
filsafat yang berhubungan dengan kemunculan ilmu pengetahuan modern dan metode
ilmiah. Empirisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan manusia bersifat terbatas
pada apa yang dapat diamati dan diuji. Oleh karena itu, aliran empirisme
memiliki sifat kritis terhadap abstraksi dan spekulasi dalam membangun dan
memperoleh ilmu. Strategi utama pemerolehan ilmu, dengan demikian, dilakukan
dengan penerapan metode ilmiah. Para ilmuwan berkebangsaan Inggris seperti John
Locke, George Berkeley dan David Hume adalah pendiri utama tradisi empirisme
(Calhoun, 2002).
Sumbangan utama dari aliran empirisme
adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metode ilmiah untuk
membangun pengetahuan. Selain itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang
mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks
perdebatan apakah ilmu pengtahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam. Sejak
saat itu, empirisme menempati tempat yang terhormat dalam metodologi ilmu
pengetahuan sosial. Acapkali empirisme diparalelkan dengan tradisi positivism.
Namun demikian keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu yang berbeda.
c. Realisme
Dalam pemikiran filsafat, realisme
berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas pada pengalaman inderawi ataupun
gagasan yang tebangun dari dalam. Dengan demikian realisme dapat dikatakan
sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme.
Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode
induksi empiris. Gagasan utama dari realisme dalam konteks pemerolehan
pengetahuan adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu observasi
dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Dalam konteks
ini, ilmuwan dapat saja menganalisa kategori fenomena-fenomena yang secara
teoritis eksis walaupun tidak dapat diobservasi secara langsung.
Tradisi realisme mengakui bahwa
entitas yang bersifat abstrak dapat menjadi nyata (realitas) dengan bantuan
symbol-simbol linguistik dan kesadaran manusia. Gagasan ini sejajar dengan
filsafat modern dari pendekatan pengetahuan versi Kantianism fenonomologi
sampai pendekatan struktural (Ibid, 2002). Mediasi bahasa dan kesadaran manusia
yang bersifat nyata inilah yang menjadi ide dasar ‘Emile Durkheim’ dalam
pengembangan ilmu pengetahuan sosial. Dalam area linguistik atau ilmu bahasa,
de Saussure adalah salah satu tokoh yang terpengaruh mengadopsi pendekatan
empirisme Durkheim. Bagi de Saussure, obyek penelitian bahasa yang diteliti
diistilahkan sebagai ‘la langue’ yaitu simbol-simbol linguistic yang dapat
diobservasi (Francis & Dinnen, 1996)
Ide-ide kaum realis seperti ini
sangatlah kontributif pada abad 19 dalam menjembatani antara ilmu alam dan
humaniora, terutama dalam konteks perdebatan antara klaim-klaim kebenaran dan
metodologi yang disebut sebagai ‘methodenstreit’ (Calhoun, 2002).
Kontribusi lain dari tradisi realisme adalah sumbangannya terhadap filsafat
kontemporer ilmu pengetahuan, terutama melalui karya Roy Bashkar, dalam
memberikan argument-argument terhadap status ilmu pengetahuan spekulatif yang
diklaim oleh tradisi empirisme.
d.
Idealisme
Idealisme adalah tradisi pemikiran
filsafat yang berpandangan bahwa doktrin tentang realitas eksternal tidak dapat
dipahami secara terpisah dari kesadaran manusia. Dengan kata lain kategori dan
gagasan eksis di dalam ruang kesadaran manusia terlebih dahulu sebelum adanya
pengalaman-pengalaman inderawi. Pandangan Plato bahwa semua konsep eksis
terpisah dari entitas materinya dapat dikatakan sebagai sumber dari pandangan
idealism radikal. Karya dan pandangan Plato memberikan garis demarkasi yang
jelas antara pikiran-pikiran idealis dengan pandangan materialis. Aritoteles
menjadi orang yang memberikan tantangan pemikiran bagi gagasan-gagasan idealis
Plato. Aristoteles mendasarkan pemikiran filsafatnya berdasarkan materi dan
fisik.
Salah satu sumbangan dari tradisi
filsafat idealisme adalah pengaruh idealism platonic dalam agama kristen. Dalam
Perjanjian Baru terdapat gagasan yang diagungkan, yakni “Permulaan adalah
kata-kata” (Ibid, 2002). Pada gilirannya, dalam sejarah, pemikiran Kristen
turut memberikan andil dalam membentuk tradisi idealis terutama gagasan-gagasan
dari Sain Augustine dengan pengembangan konsep penyucian jiwa. Selain Kristen,
pemikiran yang turut memberikan saham bagi tradisi idealis adalah mistisisme
Yahudi, mistisisme Kristen dan pengembangan pemikiran matematika oleh
bangsa-bangsa Arab. Gerakan-gerakan pemikiran inilah yang kemudian membentuk
dialektika modern antara idealisme dan materialism sejak era renaisans.
Sumbangan idealism terhadap ilmu
pengetahuan modern sangatlah jelas. Ilmu pengetahuan modern diniscayakan oleh
kohesi antara bukti-bukti empiris dan formasi teori. Kaum materialis
mendasarkan pemikirannya pada bukti-bukti empiris sedangkan kaum idealis pada
formasi teori. Sebagai sebuah tradisi filosofi, idealisme tak bisa dipisahkan
dengan gerakan Pencerahan dan filsafat Pasca Pencerahan Jerman. Salah satu
tokoh pemikir idealis yang tersohor adalah Immanuel Kant. Melalui bukunya
“Critique of pure reason” yang diterbitakan tahun 1781, Kant menentang pendapat
tradisi tokoh empiris seperti David Hume dan lain-lainnya. Kant mengatakan
bahwa pengetahuan dan pemahaman dunia memerlukan kategori dan pandangan yang
berada dalam ruang kesadaran manusia (ibid, 2002). Gagasan Kant yang terkenal
adalah ‘idealisme transedental’. Dalam konsep ini Kant berargumen bahwa ide-ide
rasional dibentuk tidak saja oleh ‘phenomenal’ tapi juga ‘noumenal’, yakni
kesadaran transedental yang berada pada pikiran manusia (ibid, 2002). Generasi
idealis berikutnya dipelopori oleh, Georg Hegel. Hegel mengenalkan gagasan
pendekatan dialektis yang tidak memihak baik gagasan ‘kesadaran mental’ Kant
maupun ‘bukti-bukti material’ dari kaum empiris. Pikiran-pikiran Hegel
inilah yang kemudian melahirkan konsep ‘spirit’-sebuah konsep yang
integral dengan kelahiran tradisi ‘idealisme absolut’ (ibid, 2002).
Dengan demikian, pemikiran filsafat
idealisme dibangun terutama oleh gagasan-gagasan Hegel dan Kant. Namun
demikian, bangunan filsafat politik modern yang berpaham bahwa manusia dapat
mengatur dunia melalui ilmu pengetahuan telah membuktikan vitalitas aliran
idealisme Kantian. Tokoh-tokoh yang meletakkan batu pertama bagi fondasi
filsafat politik modern antara lain John Rawls yang menulis tentang teori
keadilan dan Habermas (1987) yang membuahkan karya ‘Communication action’.
Melalui karya ini Habermas menjadi tokoh idealis yang mengoreksi idealisme
konvensional. Bagi kaum idealis konvensional, kenyataan sejarah merupakan
determinisme sejarah yang statis dan tidak dapat ditolak. Namun bagi Habermas,
kenyataan sejarah adalah hasil dari dialektika dan komunikasi antar manusia.
Dengan kata lain, Habermas memposisikan manusia menjadi subyek aktif dalam
praktek-praktek politik dan dalam membangun institusi-institusi sosial.
e. Positivisme
Positivisme adalah doktrin filosofi
dan ilmu pengetahuan sosial yang menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti
empiris sebagai basis dari ilmu pengetahuan dan penelitian. Terminologi
positivisme dikenalkan oleh Auguste Comte untuk menolak doktrin nilai
subyektif, digantikan oleh fakta yang bisa diamati serta penerapan metode ini
untuk membangun ilmu pengetahuan yang diabdikan untuk memperbaiki kehidupan
manusia.
Salah satu bagian dari tradisin
positivism adalah sebuah konsep yang disebut dengan positivisme logis.
Positivisme ini dikembangkan oleh para filosof yang menamakan dirinya
‘Lingkaran Vienna’ (Calhoun, 2002) pada awal abad ke duapuluh. Sebagai salah
satu bagian dari positivisme, positivisme logis ingin membangun kepastian ilmu
pengetahuan yang disandarkan lebih pada deduksi logis daripada induksi empiris.
Kerangka pengembangan ilmu menurut tradisi positivisme telah memunculkan
perdebatan tentang apakah ilmu pengetahuan sosial memang harus “diilmiahkan”.
Kritik atas positivism berkaitan dengan penggunaan fakta-fakta yang kaku dalam
penelitian sosial. Menurut para oponen positivism, penelitian dan pengembangan
ilmu atas realitas sosial dan kebudayaan manusia tidak dapat begitu saja
direduksi kedalam kuantifikasi angka yang bisa diverikasi karena realitas
sosial sejatinya menyodorkan nilai-nilai yang bersifat kualitatif (Calhoun,
2002). Menjawab kritik ini, kaum positivis mengatakan bahwa metode kualitatif
yang digunakan dalam penelitian sosial tidak menemukan ketepatan karena
sulitnya untuk di verifikasi secara empiris.
Tokoh-tokoh yang paling berpengaruh
dalam mengembangkan tradisi positivisme adalah Thomas Kuhn, Paul K. Fyerabend,
W.V.O. Quine, and filosof lainnya. Pikiran-pikiran para tokoh ini membuka jalan
bagi penggunaan berbagai metodologi dalam membangun pengetahuan dari mulai
studi etnografi sampai penggunaan analisa statistik.
f. Pragmatisme
Pragmatisme adalah mashab pemikiran
filsafat ilmu yang dipelopori oleh C.S Peirce, William James, John Dewey,
George Herbert Mead, F.C.S Schiller dan Richard Rorty. Tradisi pragmatism
muncul atas reaksi terhadap tradisi idealis yang dominan yang menganggap
kebenaran sebagai entitas yang abstrak, sistematis dan refleksi dari realitas.
Pragmatisme berargumentasi bahwa filsafat ilmu haruslah meninggalkan ilmu
pengetahuan transendental dan menggantinya dengan aktifitas manusia sebagai
sumber pengetahuan. Bagi para penganut mashab pragmatisme, ilmu pengetahuan dan
kebenaran adalah sebuah perjalanan dan bukan merupakan tujuan.
Pada awalnya pragmatisme dengan
tokoh-tokohnya mengambil jalan berpikir yang berbeda antara satu dengan
lainnya. Peirce (dalam Calhoun, 2002), misalnya, lebih tertarik dalam
meletakkan praktek dalam bentuk klarifikasi gagasan-gagasan. Peirce adalah
tokoh yang menggagas konsep bahasa sebagai media dalam relasi instrumental
antara manusia dengan benda. Gagasan ini kemudian disebut sebagai semiotik.
James, tokoh yang mempopulerkan pragmatism, lebih tertarik dalam menghubungkan
antara konsepsi kebenaran dengan area pengalaman manusia yang lain seperti;
kepercayaan dan nilai-nilai kemasyarakatan. Tokoh selanjutnya, Dewey,
menjadikan pragmatisme sebagai basis dari praktek-praktek berpikir secara
kritis. Pendekatan Dewey (1916) yang pragmatis dalam pendidikan, misalnya, menitikberatkan
pada penguasaan proses berpikir kritis daripada metode hafalan materi
pelajaran.
Sumbangan dari pragmatisme yang lain
adalah dalam praktek demokrasi. Dalam area ini pragmatisme memfokuskan pada
kekuatan individu untuk meraih solusi kreatif terhadap masalah yang dihadapi.
g. Humanisme
Sejak abad ke 15 yang disebut dengan
masa kebangkitan kembali atau renaissance yang berkembang di Italia, timbul
pandangan humanisme yang didukung oleh berbagai penemuan seperti mesin cetak
serta ditemukannya benua Amerika dan India oleh Columbus dan Vasco de Gama.
Humanisme memiliki dua arah, yakni
humanisme individu dan humanisme social. Humanisme individu mengutamakan
kemerdekaan berpikir, mengemukakan pendapat, dan berbagai aktivitas yang
kreatif. Kemampuan ini disalurkan melalui kesenian, kesusastraan, musik,
teknologi, dan penguasaan tentang ilmu kealaman. Humanisme social mengutamakan
pendidikan bagi masyarakat keseluruhan untuk kesejahteraan social dan perbaikan
hubungan antarmanusia.
Kesimpulan
Pandangan dan gagasan filsafat ilmu
berkembang dalam dialektika yang sangat dinamis. Hal ini karena berbagai
pemikiran baru muncul menggantikan
konsep-konsep dan pikiran lama. Namun demikian, walaupun masing-masing aliran
ada kelebihan dan kelemahannya, setiap aliran filsafat ilmu saling
berkonstribusi dengan saling menyapa secara kritis. Dari pokok bahasan di atas,
semau filsafat ilmu memberkan kontribusi yang signifikan bagi terbentuknya
pemikiran ilmu pengetahuan modern.
Referensi:
Calhoun, C, 2002, Dictionary of the social
science, Oxford University Press, Oxford.
Dewey, J, 1916, Democracy and
education: An introduction to the Philosophy of Education, Macmillan, NY.
Francis, P & Dinnen, S.J, 1996, An
introduction to General Linguistic, Holt, Rinehart and Winston, INC, New
York.
Habermas, J, 1987, The theory of
communicative action, Beacon Press, Boston.
http://eka.web.id/filsafat-pengertian-dan-aliran.html
Nasr, H, 1993, History of Islamic Philosophy,
Ansariyan Publications, Shohada Str. Qum.
Komentar
Posting Komentar